Setelah beberapa kali menulis tentang politik, sepertinya saat ini kurang elok kalau tentang politik lagi. Tulisan ini merupakan pengingat bagi kita para suami dan/atau ayah, khususnya bagi saya dalam mengelola kehidupan berumah tangga.
Cemburu merupakan emosi dan biasanya merujuk pada pikiran negatif dan perasaan terancam, takut, dan khawatir kehilangan sesuatu yang dihargai oleh seseorang, terutama merujuk pada hubungan manusia.
Lihat https://ms.m.wikipedia.org/wiki/Cemburu
Dalam kondisi tertentu, cemburu itu perlu. Sebagaimana defenisi di atas, kita perlu, bahkan sampai pada posisi wajib hukumnya untuk cemburu, jika kita khawatir akan kehilangan sesuatu atau seseorang yang kita cintai dan hargai. Bisa jadi bukan kehilangan barangnya atau orangnya, tapi kehilangan perhatiannya, kehilangan kasih sayangnya dan kehilangan “rasa” yang ada.
Dalam beberapa riwayat dijelaskan bahwa Allah subhanaHu wa ta’ala juga cemburu, bahkan lebih pencemburu daripada hamba-Nya. Salah satu riwayat yang sering kita dengar adalah dalam riwayat berikut.
“Sesungguhnya Allahpun cemburu dan orang yang beriman juga cemburu. Kecemburuan Allah, yaitu jika orang mukmin melakukan apa yang diharamkan”.
Bagaimana dengan cemburunya manusia?
Ada satu riwayat yang ingin saya sampaikan dan perlu menjadi perhatian bagi kita semua, yaitu riwayat berikut.
“ثلاثة لا ينظر الله عز وجل إليهم يوم القيامة: العاق لوالديه, والمرأة المترجلة, والديوث…”
“Ada tiga golongan manusia yang tidak akan dilihat oleh Allah (dengan pandangan kasih sayang) pada hari kiamat nanti, yaitu: orang yang durhaka kepada kedua orang tuanya, perempuan yang menyerupai laki-laki, dan ad-dayyuts”.
Dayyuts, menurut para ulama adalah seorang suami, ayah yang tidak merasa cemburu dan membiarkan terjadinya perbuatan tidak baik dalam keluarganya. Lawanya adalah gayur, yaitu orang yang memiliki kecemburuan besar terhadap keluarganya sehingga dia tidak membiarkan mereka berbuat yang tidak baik.
Diantara ciri-ciri Dayyuts adalah sebagai berikut.
1. Membiarkan istri dan/atau anak perempuannya memamerkan aurat atau tidak sempurna dalam menjaga aurat;
2. Membiarkan istri dan/atau anak perempuannya keluar rumah untuk berikhtilat (berbaur dengan lawan jenis non mahrom), lebih parah lagi berkholwat (berdua2an dengan non mahrom); dan
3. Membiarkan istri dan/atau anak perempuan berkomunikasi baik langsung ataupun melalui media seperti sms, wa, facebook dll dengan lawan jenis non mahrom dengan komunikasi yang tidak wajar dan tanpa adab (menjaga kesucian diri dan jiwa).
3 ciri di atas menunjukkan bahwa sang suami atau ayah sudah kehilangan rasa memiliki, tidak ada rasa cemburu lagi dalam hatinya. Sesuai dengan riwayat di atas, maka suami dan/atau ayah seperti ini tidak akan “dilirik” oleh Allah di hari kiamat.
Bukankah kita semua tahu bahwa seorang perempuan sebenarnya jauh lebih baik, lebih mulia dan lebih suci baginya untuk tetap di rumah saja?
وَقَرْنَ فِي بُيُوتِكُنَّ وَلَا تَبَرَّجْنَ تَبَرُّجَ الْجَاهِلِيَّةِ الْأُولَى وَأَقِمْنَ الصَّلَاةَ وَآتِينَ الزَّكَاةَ وَأَطِعْنَ اللَّهَ وَرَسُولَهُ إِنَّمَا يُرِيدُ اللَّهُ لِيُذْهِبَ عَنكُمُ الرِّجْسَ أَهْلَ الْبَيْتِ وَيُطَهِّرَكُمْ تَطْهِيراً
“Dan hendaklah kamu tetap tinggal di rumah-rumah kalian dan janganlah kalian berhias dan bertingkah laku seperti orang-orang jahiliyah yang dahulu. Dan dirikanlah shalat, tunaikanlah zakat dan taatilah Allah dan Rasul-Nya. Sesungguhnya Allah bermaksud hendak menghilangkan dosa dari kamu, wahai ahlul bait, dan membersihkan kamu sebersih-bersihnya.” (QS. Al Ahzab: 33).
Beginilah Al Qur’an memuliakan seorang perempuan, karena Allah Mahatahu apabila perempuan keluar rumah, banyak sekali fitnah yang akan melanda.
اَلْمَرْأَةُ عَوْرَةٌ ، وَإِنَّهَا إِذَا خَرَجَتْ مِنْ بَيْتِهَا اِسْتَشْرَفَهَا الشَّيْطَانُ، وَإِنَّهَا لاَتَكُوْنُ أَقْرَبَ إِلَى اللهِ مِنْهَا فِيْ قَعْرِ بَيْتِهَا
“Wanita itu aurat, jika ia keluar dari rumahnya maka setan mengikutinya, dan tidaklah ia lebih dekat kepada Allah (ketika shalat) melainkan di dalam rumahnya”.
Bahkan sholat pun, perempuan lebih baik di rumahnya
خَيْرُ مَسَاجِدِ النِّسَاءِ قَعْرُ بُيُوتِهِنَّ
“Sebaik-baik masjid bagi para wanita adalah diam di rumah-rumah mereka.”
Maka sudah sepatutnya kita melihat kembali ke lubuk hati yang paling dalam, apakah kita masih memiliki dan memelihara rasa cemburu yang ada, sehingga kita akan sangat berhati-hati dalam “membimbing” istri dan anak-anak kita. Atau kita sudah dengan sengaja atau tidak bergabung dalam kelompok Dayyuts, sehingga kita akan nyaman saja jika istri dan/atau anak perempuan kita keluar rumah tanpa sempurna dalam menutup aurat, berikhtilat dengan lawan jenis non mahrom dan melampaui batas dalam komunikasi dengan lawan jenis non mahrom baik komunikasi langsung maupun melalui sarana sms, wa, fb dan lain sebagainya.
Hmmmm.
Saya isyaAllah merasa masih memelihara kecemburuan itu, bahkan (mungkin) terkesan berlebihan, karena bagi saya, cemburu yang seperti ini sangat penting, bahkan mengarah kepada “Cemburu itu Wajib”.
You must be logged in to post a comment.