Feeds:
Posts
Comments

Setelah beberapa kali menulis tentang politik, sepertinya saat ini kurang elok kalau tentang politik lagi. Tulisan ini merupakan pengingat bagi kita para suami dan/atau ayah, khususnya bagi saya dalam mengelola kehidupan berumah tangga.

Cemburu merupakan emosi dan biasanya merujuk pada pikiran negatif dan perasaan terancam, takut, dan khawatir kehilangan sesuatu yang dihargai oleh seseorang, terutama merujuk pada hubungan manusia.
Lihat https://ms.m.wikipedia.org/wiki/Cemburu

Dalam kondisi tertentu, cemburu itu perlu. Sebagaimana defenisi di atas, kita perlu, bahkan sampai pada posisi wajib hukumnya untuk cemburu, jika kita khawatir akan kehilangan sesuatu atau seseorang yang kita cintai dan hargai. Bisa jadi bukan kehilangan barangnya atau orangnya, tapi kehilangan perhatiannya, kehilangan kasih sayangnya dan kehilangan “rasa” yang ada.

Dalam beberapa riwayat dijelaskan bahwa Allah subhanaHu wa ta’ala juga cemburu, bahkan lebih pencemburu daripada hamba-Nya. Salah satu riwayat yang sering kita dengar adalah dalam riwayat berikut.

“Sesungguhnya Allahpun cemburu dan orang yang beriman juga cemburu. Kecemburuan Allah, yaitu jika orang mukmin melakukan apa yang diharamkan”.

Bagaimana dengan cemburunya manusia?
Ada satu riwayat yang ingin saya sampaikan dan perlu menjadi perhatian bagi kita semua, yaitu riwayat berikut.

“ثلاثة لا ينظر الله عز وجل إليهم يوم القيامة: العاق لوالديه, والمرأة المترجلة, والديوث…”

“Ada tiga golongan manusia yang tidak akan dilihat oleh Allah (dengan pandangan kasih sayang) pada hari kiamat nanti, yaitu: orang yang durhaka kepada kedua orang tuanya, perempuan yang menyerupai laki-laki, dan ad-dayyuts”.

Dayyuts, menurut para ulama adalah seorang suami, ayah yang tidak merasa cemburu dan membiarkan terjadinya perbuatan tidak baik dalam keluarganya. Lawanya adalah gayur, yaitu orang yang memiliki kecemburuan besar terhadap keluarganya sehingga dia tidak membiarkan mereka berbuat yang tidak baik.

Diantara ciri-ciri Dayyuts adalah sebagai berikut.
1. Membiarkan istri dan/atau anak perempuannya memamerkan aurat atau tidak sempurna dalam menjaga aurat;
2. Membiarkan istri dan/atau anak perempuannya keluar rumah untuk berikhtilat (berbaur dengan lawan jenis non mahrom), lebih parah lagi berkholwat (berdua2an dengan non mahrom); dan
3. Membiarkan istri dan/atau anak perempuan berkomunikasi baik langsung ataupun melalui media seperti sms, wa, facebook dll dengan lawan jenis non mahrom dengan komunikasi yang tidak wajar dan tanpa adab (menjaga kesucian diri dan jiwa).

3 ciri di atas menunjukkan bahwa sang suami atau ayah sudah kehilangan rasa memiliki, tidak ada rasa cemburu lagi dalam hatinya. Sesuai dengan riwayat di atas, maka suami dan/atau ayah seperti ini tidak akan “dilirik” oleh Allah di hari kiamat.

Bukankah kita semua tahu bahwa seorang perempuan sebenarnya jauh lebih baik, lebih mulia dan lebih suci baginya untuk tetap di rumah saja?

وَقَرْنَ فِي بُيُوتِكُنَّ وَلَا تَبَرَّجْنَ تَبَرُّجَ الْجَاهِلِيَّةِ الْأُولَى وَأَقِمْنَ الصَّلَاةَ وَآتِينَ الزَّكَاةَ وَأَطِعْنَ اللَّهَ وَرَسُولَهُ إِنَّمَا يُرِيدُ اللَّهُ لِيُذْهِبَ عَنكُمُ الرِّجْسَ أَهْلَ الْبَيْتِ وَيُطَهِّرَكُمْ تَطْهِيراً

“Dan hendaklah kamu tetap tinggal di rumah-rumah kalian dan janganlah kalian berhias dan bertingkah laku seperti orang-orang jahiliyah yang dahulu. Dan dirikanlah shalat, tunaikanlah zakat dan taatilah Allah dan Rasul-Nya. Sesungguhnya Allah bermaksud hendak menghilangkan dosa dari kamu, wahai ahlul bait, dan membersihkan kamu sebersih-bersihnya.” (QS. Al Ahzab: 33).

Beginilah Al Qur’an memuliakan seorang perempuan, karena Allah Mahatahu apabila perempuan keluar rumah, banyak sekali fitnah yang akan melanda.

اَلْمَرْأَةُ عَوْرَةٌ ، وَإِنَّهَا إِذَا خَرَجَتْ مِنْ بَيْتِهَا اِسْتَشْرَفَهَا الشَّيْطَانُ، وَإِنَّهَا لاَتَكُوْنُ أَقْرَبَ إِلَى اللهِ مِنْهَا فِيْ قَعْرِ بَيْتِهَا

“Wanita itu aurat, jika ia keluar dari rumahnya maka setan mengikutinya, dan tidaklah ia lebih dekat kepada Allah (ketika shalat) melainkan di dalam rumahnya”.

Bahkan sholat pun, perempuan lebih baik di rumahnya

خَيْرُ مَسَاجِدِ النِّسَاءِ قَعْرُ بُيُوتِهِنَّ

“Sebaik-baik masjid bagi para wanita adalah diam di rumah-rumah mereka.”

Maka sudah sepatutnya kita melihat kembali ke lubuk hati yang paling dalam, apakah kita masih memiliki dan memelihara rasa cemburu yang ada, sehingga kita akan sangat berhati-hati dalam “membimbing” istri dan anak-anak kita. Atau kita sudah dengan sengaja atau tidak bergabung dalam kelompok Dayyuts, sehingga kita akan nyaman saja jika istri dan/atau anak perempuan kita keluar rumah tanpa sempurna dalam menutup aurat, berikhtilat dengan lawan jenis non mahrom dan melampaui batas dalam komunikasi dengan lawan jenis non mahrom baik komunikasi langsung maupun melalui sarana sms, wa, fb dan lain sebagainya.

Hmmmm.
Saya isyaAllah merasa masih memelihara kecemburuan itu, bahkan (mungkin) terkesan berlebihan, karena bagi saya, cemburu yang seperti ini sangat penting, bahkan mengarah kepada “Cemburu itu Wajib”.

Bahasan tentang pasangan capres cawapres masih menjadi favorit disamping tema tentang HUT ke-73 RI. Memang banyak hal yang menarik untuk dibahas tentang pasangan capres cawapres kali ini, mungkin kita belum berhenti kaget dan terkejut dengan penetapan cawapres yang memang penuh teka teki (saat itu).

Kali ini saya ingin menulis sedikit tentang pasangan ProSa (Prabowo Sandi). ProSa dalam beberapa kesempatan sering sekali menggaungkan konsep Politik Santun. Entah apa defenisi yang pas untuk konsep politik santun ini, yang pasti, yang saya lihat sampai saat ini, ProSa (terutama Sandi) pada beberpa kesempatan tampil cool, tidak meledak-ledak, tidak membangga-banggakan kubunya, tidak menjelek-jelekkan kubu yang lain bahkan memuji. Mungkin inilah gambaran singkat tentang politik santun.

Lebih jauh, ProSa juga tidak segan-segan mendatangi, bersilaturahim dengan pasangan satunya lagi. Mungkin kita semua sudah lihat dan dengar, bahwa ProSa mendatangi KH Ma’ruf Amin, kemudian bersilaturahin ke pimpinan pusat NU dan yang terbaru menemui Pak Wapres JK untuk meminta nasihat dan masukan. Saya rasa ini juga politik santun, yang mencoba meredam dan mengurangi ketegangan antar kubu dan mengubahnya menjadi aura kerjasama, saling menguatkan, saling memberi masukan, terserah siapapun yang nanti terpilih jadi Presiden dan Wakil Presiden yang baru. Bahkan, ProSa juga telah menyampaikan rencana ingin menemui Presiden Jokowi dalam waktu dekat.

Menurut saya ini jelas-jelas sebuah perkembangan yang lebih baik dari sebelum-sebelumnya. Meskipun kalau kita perhatikan, beberapa tokoh di kubu sebelah, malah mempertanyakan (mengarah kepada mengkritik) pilihan sikap ProSa yang mendatangi tokoh-tokoh tadi. Saya rasa konsepnya jelas, ProSa lebih mengedepankan bahwa mereka adalah tokoh-tokoh penting di negara ini, yang tentunya layak untuk dimintai nasehat, ada Ketua Umum MUI, ada Ketua PBNU dan Wakil Presiden. ProSa tidak melihat bahwa mereka adalah cawapres saingan dan tokoh-tokoh pendukungnya, pandangan ini dikesampingkan dulu. Maka, saya malah merasa aneh dan menyayangkan, saat beberapa tokoh partai pendukungnya malah “seolah” gak terima pilihan sikap ProSa ini.

Saya rasa, justru saatnya kita semua ikut berpolitik santun, lebih mengedepankan kepentingan bersama, kepentingan masyarakat, daripada selalu menjadi provokator yang akan memperkeruh suasana. Karena, pada prinsipnya, siapapun yang terpilih, kita harus tetap bahu membahu membangun bangsa sesuai dengan posisi dan peran kita.

Salam ASN Netral

Khawatir adalah takut (gelisah, cemas) terhadap suatu hal yang belum diketahui dengan pasti. Lihat https://www.google.co.id/amp/s/kbbi.web.id/khawatir.html. Khawatir memang akan terjadi pada siapa saja, tidak lihat jabatan, tidak lihat umur, dimanapun berada.

Di minggu ini banyak kekhawatiran. Banyak orang khawatir, harap-harap cemas, tebak-tebakan, karena memang sesuatu yang dikhawatirkan itu belum terjadi. Ya, sudah terjadi sih di hari ini, Jum’at 10 Agustus 2018. Kekhawatiran itupun terjawab sudah.

Banyak orang khawatir, namun yang paling khawatir tentunya adalah pemilik nama-nama tertentu yang hari ini jadi trending topik, dan mungkin setahun ke depan. Selain mereka, tentunya orang-orang di sekitar mereka, ada juga yang harap-harap cemas, bahkan dengar-dengar ada sudah menyiapkan pakaian khas, eh malah gak jadi, katanya lo.

Sejatinya yang khawatir ini ada 2 grup, eh 3 kayaknya, yang 2 grup udah pasti (grup nya yang pasti, bukan orangnya), yang 1 nya lagi galau dan penuh spekulasi. Dari 2 grup yang udah pasti itu, 1 diantaranya yang khawatirnya sepertinya lebih besar, sebut saja grup A. Karena, pada saat grup yang satunya lagi (sebut saja grup B) pengen menggandeng seorang anak muda, seorang da’i, ulama, cerdas, public speaking bagus, punya banyak pendengar di seluruh Indonesia bahkan ke beberapa negara tetangga, maka grup A ini sepertinya mulai khawatir, dan puncaknya bahkan ikut menggandeng seorang ulama juga, seakan tak mau kalah. Ulama sepuh pula, senior. Ini sepertinya kekhawatiran yang signifikan.

Nah, ternyata grup B gagal menggandeng seorang da’i muda tadi. Sepertinya da’i muda itu punya firasat, bahwa jika beliau bergabung, akan terjadi perbedaan pendapat dan perbedaan grup pada ummat, maka beliau menolak dengan kalimat “biarlah saya tetap menjadi suluh di tengah kelam”. Ingat, firasat seorang beriman itu dahsyat. Hmmmm, kalau tidak salah, dahulu kala seorang Ulama Madzhab juga pernah menolak saat diajak bergabung di pemerintahan. Mungkin juga sang da’i muda belajar dari kisah Ulama tersebut.

Namun, ulama yang digandeng grup A tadi, sepertinya malah menikmati pinangan tersebut. Mungkin pertimbangannya berbeda, karena ulama tentunya punya kedalaman ilmu dan pengalaman, sehingga keputusannya berbeda-beda. Mudah-mudahan kita semua berharap ini demi kebaikan bangsa dan negara.

Terakhir, saya teringat ucapan Aa Gym dalam sebuah acara di televisi beberapa hari yang lalu, kira-kira begini
“Jangan ulama diminta ngedorong mobil biar bisa melaju kencang, eh pas mobil nya jalan, ulama nya ditinggal”

Kok jadi takut dan khawatir ya, ucapan beliau ini nanti terjadi
Hmmmm

Tradisi atau kebiasaan (Latin: traditio, “diteruskan”) adalah sesuatu yang telah dilakukan untuk sejak lama dan menjadi bagian dari kehidupan suatu kelompok masyarakat, biasanya dari suatu negara, kebudayaan, waktu, atau agama yang sama. Hal yang paling mendasar dari tradisi adalah adanya informasi yang diteruskan dari generasi ke generasi baik tertulis maupun (sering kali) lisan, karena tanpa adanya ini, suatu tradisi dapat punah.
Lihat https://id.m.wikipedia.org/wiki/Tradisi

Sebelum kehadiran Islam yang dibawa oleh junjungan kita Nabi Muhammad ShollaLlahu ‘alaihi wa sallam, masyarakat arab saat itu, tentunya sama seperti masyarakat di belahan dunia lainnya, memiliki tradisi atau kebiasaan tertentu yang akan terasa aneh jika ada orang yang tidak melakukan atau menerapkannya. Diantara tradisi atau kebiasaan itu adalah meminum khamr, berjudi, berkurban untuk berhala, mengundi nasib dengan anak panah, membunuh anak perempuan dan lain sebagainya. Ini tradisi, kebiasaan, yang turun temurun dan (mugkin) tidak pernah terfikirkan oleh mereka apa manfaat dan mudhoratnya.

Dengan hadirnya Islam di tengah-tengah masyarakat, secara bertahap Islam mengurangi dan menghilangkan tradisi-tradisi yang tentunya tidak sesuai dengan Islam. Ambil saja contoh mengundi nasib dengan anak panah, ini adalah tradisi yang bertentangan dengan aqidah, merusak aqidah, mencederai rukun iman yang pertama dan keenam, iman kepada Allah subhanaHu wa ta’ala serta qoda dan qodar-Nya.

Sangat jelas Allah subhanaHu wa ta’ala berfirman dalam Al Qur’an sebagai berikut.
“Hai orang-orang yang beriman, sesungguhnya meminum khamr, berjudi, berkorban untuk berhala, mengundi nasib dengan anak panah, adalah perbuatan keji termasuk perbuatan setan. Maka jauhilah perbuatan-perbuatan itu agar kamu mendapat keberuntungan (QS Al-Maidah: 90)”.

Bagaimana dengan tradisi atau kebiasaan yang sesuai ajaran Islam? Ya, lanjutkan, bahkan Islam menguatkannya, semisal hormat kepada orang tua, taat kepada pemimpin (tentunya yang taat kepada Allah dan Rasul-Nya).

Maka pada prinsipnya, tradisi atau kebiasaan lah yang disesuaikan dengan nilai-nilai Islam, jika sesuai lanjutkan, dan jika tidak, maka tinggalkan. Bukan sebaliknya, Islam disesuaikan dengan tradisi atau kebiasaan dan “dipaksa” untuk mengakui tradisi dan kebiasaan tersebut.

Semoga bermanfaat.

Gairah Pemuda

Nama saya Amir Mahmud Nasution, dalam berbagai pekerjaan yang membutuhkan inisial, saya biasa menggunakan inisial AM(N). Ini hanya pengantar, gak ada maksud apa-apa sebenarnya. Hahahahaha.

Beberapa hari yang lalu, pasangan Capres Cawapres sudah didaftarkan ke KPU, ada 2 pasang yang akan berlomba-lomba (dalam kebaikan, tentunya) dalam wadah demokrasi bertajuk Pemilihan Presiden tahun 2019 nanti. Pasangan pertama mendaftar di pagi hari dan pasangan kedua di siang harinya, di hari yang sama.

Ada yang tampak berbeda pada kedua pasangan tersebut, mungkin banyak perbedaannya, dan mungkin sudah banyak tulisan, banyak diskusi tentang perbedaan-perbedaan yang tampak tersebut. Namun rasanya ingin menuliskan tentang perbedaan yang ini. Pada saat memberikan pernyataan ke media dan masyarakat setelah resmi mendaftar ke KPU, pasangan pertama didampingi oleh para pimpinan partai pengusung, aura nya adalah aura kedewasaan dan kematangan orang-orang tua, yang mudah-mudahan saja penuh kebijaksanaan dan kemampuan mengendalikan nafsu (nafsu (bahasa arab) = diri).

Pasangan kedua, tentunya sama juga, didampingi oleh para pimpinan partai. Namun pada saat memberikan pernyataan, muncul wajah-wajah muda di sana. Selain cawapres nya memang seorang anak muda yang penuh semangat, pasangan ini didampingi juga anak muda lain yang tidak kalah bersemangat, sebut saja ada AHY dan HR di sana, dari partai yang warna nya sama-sama biru sih. Ada semangat dan gairah pemuda di sana, mengingatkan kita pada kisah-kisah pemuda pembawa perubahan di berbagai tempat dan berbagai masa, karena pemuda adalah agen perubahan, perubahan menuju suatu kondisi yang lebih baik, insyaAllah.

Hmmmm
Saya merasa ada yang kurang di sana, ada yang belum hadir di sana pada saat itu. Saya berandai-andai, suasana itu akan jauh lebih bersemangat, lebih bergairah jika di sana ada seorang pemuda lagi, dengan inisial AM. Hmmmm.

Eits, jangan salah dulu, AM ini bukan AM yang saya sampaikan di awal tulisan ini, tapi AM lain yang jauh lebih hebat, hebat dalam konsep, hebat dalam tulisan, hebat dalam retorika dan insyaAllah bisa membawa Indonesia menjadi jauh lebih hebat. Siapakah dia, mari tebak-tebakan.

Tidak mudah memengaruhi orang lain, karena setiap orang memiliki ego untuk bersikap sesuai pilihan sendiri, tidak ikut-ikutan dengan pilihan orang lain. Apalagi hanya dengan kata-kata. Yang paling efektif dalam memberikan pengaruh kepada orang lain adalah perbuatan. Perbuatan dipadu dengan sifat, sikap, tingkah laku, pola pikir dan lainnya, dirangkum dalam satu kata KARAKTER. Wikipedia bahasa indonesia mendefenisikan karakter sebagai sifat batin yang memengaruhi segenap pikiran, perilaku, budi pekerti dan tabiat yang dimiliki manusia atau makhluk hidup lainnya. Lihat https://id.wikipedia.org/wiki/Karakter.

Menyadari bahwa karakter sangat ampuh dalam memengaruhi emosi dan pola pikir orang lain, maka karakter tokoh telah menjadi satu bagian penting dalam praktik penyusunan karya sastra seperti novel dan film, selain alur cerita tentunya. Dengan karakter tokoh yang unik, diharapkan novel dan film disukai oleh banyak orang, yang pada akhirnya berujung pada keuntungan tentunya.

Namun, sisi lain dari pembentukan karakter tokoh ini adalah tentunya pengaruh terhadap para penggemarnya. Penggemar yang benar-benar ngefans dengan tokoh dalam novel atau film, dalam periode tertentu bisa benar-benar menghayati karakter tokoh tersebut, sehingga menjadi pilihannya dalam “berkarakter”. Singkatnya sih si penggemar mencontoh secara utuhlah karakter tokoh tersebut. Hal ini terjadi, mungkin karena rasa suka, kagum dan cinta yang berlebihan dengan karakter tokoh yang diperankan tersebut. Kagum yang berlebihan ini sering diistilahkan sebagai KULTUS INDIVIDU, yang didefenisikan oleh wikipedia bahasa indonesia sebagai pemujaan kepribadian (bahasa Inggris: cult of personality) muncul ketika seseorang menggunakan media massa, propaganda atau metode lain untuk menciptakan figur ideal atau pahlawan, seringkali melalui pujian yang berlebihan. (https://id.wikipedia.org/wiki/Kultus_individu)

Dalam Islam sendiri (CMIIW), kultus individu tidak diperkenankan, kecuali untuk RasuluLlah shollaLlahu ‘alaihi wa sallam. Ini hal penting dan mendesak yang saya rasa perlu benar-benar kita tanamkan pada generasi penerus kita. Suka, kagum, simpati dengan karakter-karakter lain adalah sah-sah saja, boleh-boleh saja, namun tetap tidak kultus, tidak melebihi kekaguman terhadap RasuluLlah shollaLlahu ‘alaihi wa sallam. Senada dengan penjelasan tentang karakter di atas, RasuluLlah shollaLlahu ‘alaihi wa sallam juga menerapkan metode “dakwah dengan karakter (baca: khuluqin azhiim (QS. 68 : 4))” pada masa awal-awal perkembangan Islam.

Belakangan ini, novel-novel dan film-film terbaru (sebagian film diangkat dari novel) menyuguhkan karakter-karakter tertentu yang memang cukup unik dan ke-unik-an karakter tersebut dibahas secara membahana tentunya melalui media sosial. Pembahasannya beragam, mulai dari analisis serius, analisis seru-seruan aja sampai analisis kocak dipadu dengan meme-meme yang menggelitik. Apapun jenis bahasannya, tetap akan membuka rasa penasaran orang untuk mengetahui lebih dalam tentang karakter tersebut.

Jadi tulisan ini maksudnya apa ya? Hahaha. Hmmmm, saya hanya ingin mengingatkan, kita harus berhati-hati memilih karakter, karena disadari atau tidak, pengetahuan dan analisis terhadap suatu karakter sedikit banyaknya bisa memengaruhi pilihan karakter kita. Kalau karakter yang kita kagumi itu selaras dengan karakter RasuluLlah shollaLlahu ‘alaihi wa sallam, no problem, kalau tidak, atau bahkan bertentangan, ini yang bisa jadi masalah.

Pada awal munculnya media sosial (medsos), para pengguna memanfaatkannya tidak lebih hanya sekedar sarana “berteman di dunia maya”. Saat tidak bisa bersua secara fisik, maka medsos-lah yang menjadi solusi untuk dapat bertemu secara virtual.

Seiring dengan berkembangnya zaman, pemanfaatan medsos-pun ikut berkembang, tepatnya mulai bergeser. Pemanfaatannya tidak lagi terbatas pada pertemanan dan pertemuan, namun berkembang pada berbagai tujuan, misi, kepentingan, motif dan lain-lain.

Perkembangan ini tentunya memiliki dua sisi, selalu dua sisi, sisi manfaat dan sisi mudharat. Sisi manfaatnya memang sangat terasa dan membantu, medsos digunakan sebagai media dakwah yang sangat efektif, media untuk menyebarkan hal-hal positif, pemahaman-pemahaman konstruktif, sarana memperluas wawasan dan pengetahuan, sarana bisnis dan penghasilan, sarana berpolitik yang sehat dan seterusnya.

Namun, sisi satunya lagi tidak kalah dahsyat, mudhorat yang tidak sedikit dan perlu mendapat perhatian kita semua. Medsos juga sangat efektif untuk dimanfaatkan dalam hal yang berkebalikan dengan sisi manfaat sebagaimana dijelaskan sebelumnya. Para pengguna perlu berhati-hati dengan beberapa kemungkinan pemanfaatan berikut.

Pertama, medsos telah menjadi candu. Bagi para pengguna yang kurang bijak, medsos terus terang dapat mengalihkan dunia, sehingga pengguna dan penikmat medsos memiliki ketergantungan yang tinggi dan melupakan tugas dan peran utamanya, misalnya tugas dan peran sebagai suami, sebagai istri, sebagai ayah, sebagai ibu, sebagai anak dan lain-lain. Disadari atau tidak, medsos telah mampu mengendalikan sifat, perilaku, pola tingkah, pilihan, cara berfikir bahkan nurani seseorang. Padahal semestinya kitalah yang harus mengendalikan medsos, karena medsos hanyalah sebuah alat.

Kedua, medsos menjadi ajang pamer. Pamer kekayaan, pamer kekuasaan, pamer kekuatan, pamer amal ibadah, pamer kebaikan, pamer fisik, pamer kepedulian, pamer pengetahuan, bahkan pamer kemesraan. Satu lagi yang juga sering terjadi adalah pamer ide dan pemikiran seperti tulisan ini tentunya. Sayangnya lagi, pengguna medsos banyak yang terhipnotis menjadi “pengintip” pamer-pamer tersebut, dan sering berkomentar “pengen deh jadi seperti mereka-mereka itu”. Hal ini juga yang menjadi salah satu penyebab poin pertama tadi, sibuk “mengintip” perkembangan pamer orang lain sehingga melupakan tugas dan peran utamanya. Bagaimana bisa kita jadi seperti pamer-pamer itu kalau kita sendiri hanya sibuk ngintipin perkembangan pamer-pamer tersebut dan lupa untuk membenahi diri kita sendiri? Yang paling menyedihkan adalah adanya kemungkinan kita mulai berkhayal dan berandai-andai, andaikan aku seperti itu, andaikan aku dulu begini, dulu begitu dan seterusnya. Muhasabahlah, kita memang kurang bersyukur.

Satu hal penting yang perlu kita ketahui, secara psikologi, pamer itu bisa saja merupakan bentuk kegalauan dan butuh pengakuan orang lain karena kurang percaya diri dengan kondisi diri sendiri. Kalau kita benar-benar percaya diri dengan kondisi diri dan keluarga kita, amal ibadah kita, kepedulian kita dan lain sebagainya, maka kita tidak butuh pengakuan orang lain, ngapain pamer. Ingat, pamer-pamer seperti ini yang bisa menghilangkan seluruh pahala dan kebaikan amal ibadah kita.

Ketiga, informasi dan pengatahuan yang tersebar di medsos digunakan sebagai dasar, panduan dan pedoman. Banyaknya informasi yang tersebar di medsos menjadikan pengguna terkadang merasa cukup dengan pengetahuan tersebut. Pengetahuan itupun sering digunakan sebagai dasar, panduan dan pedoman dalam berbuat, berbicara, berargumentasi, bahkan beramal ibadah. Apakah salah? Tentu tidak. Namun, kita perlu mengecek lebih lanjut kepada pedoman yang sebenarnya. Dalam beramal ibadah misalnya, kita tetap perlu mengecek kesesuaiannya dengan hujjah yang sebenarnya, yaitu Al Qur’an, sunnah, ijma’ dan ijtihad ulama. Maka jangan pernah belajar ilmu aqidah, syari’ah, fiqh dengan hanya mengandalkan medsos. Jangan pernah.

Keempat, medsos menjadikan pengguna sebagai pengamat amatir dan dadakan. Banyak hal-hal makro dibahas dan diwacanakan secara luas melalui medsos, misalnya masalah politik, masalah krisis ummat, krisis akhlaq, fitnah akhir zaman dan masalah-masalah wow lainnya. Pengguna medsos-pun banyak yang langsung menjadi pengamat dengan membuat analisis, telaah dan tentunya berkomentar. Banyak komentar yang dahsyat dan menggelegar. Kontroversi pun tak terhindarkan yang melahirkan perdebatan-perdebatan sengit dan tidak jarang berujung pada caci maki, hinaan dan kondisi-kondisi buruk lainnya. Padahal masalah-masalah kecil yang mendasar, yang pokok saja belum tentu kita faham betul, misal hukum air, hukum bersuci (thaharoh), hukum aurat dan ketentuan mahram, rukun dan gerakan sholat, hukum zakat, hukum tajwid dan makhraj dalam membaca Al Qur’an dan sebagainya. Apa tidak mending menguatkan pemahaman kita dalam hal pokok dulu?

Setidaknya inilah empat mudharat yang sering terjadi, mungkin masih banyak yang lain dan sebagiannya adalah efek bawaan dari empat ini. Kalau ada yang ingin menambahkan, boleh di kolom komentar.

Nah, apakah dengan ini kemudian kita akan keluar dari medos? Tentu tidak, jika selama ini mampu mengendalikan medsos. Namun, jika medsos yang telah mengendalikan kita, mending keluar saja. Be smart and wise dalam memilah dan memilih pemanfaatan medsos, jangan sampai medsos mengendalikan hati, fikiran dan tingkah laku kita, kita yang harus mengendalikannya.

Terakhir, belakangan ini kita dengar kabar dan info yang menyarankan khususnya perempuan, lebih khusus lagi yang menggunakan hijab, untuk lebih berhati-hati dalam memuat foto-foto di medsos, karena banyak digunakan oleh orang “aneh” sebagai bahan fantasi. Na’uudzu biLlah min dzaalik.

Maka (terkadang) ingin aku hancurkan medsos ini.

Ada kebiasaan pada segelintir masyarakat kita di bulan Muharram, tepatnya tanggal 10 Muharram. Hari tersebut, bagi sebagian masyarakat kita dianggap dan diyakini sebagai Hari Raya Anak Yatim, sehingga pada hari tersebut sering dilaksanakan santunan buat anak yatim, dengan tujuan membuat mereka berbahagia sebagaimana layaknya hari raya. 10 Muharram seakan disejajarkan dengan 1 Syawal dan 10 Dzulhijjah.

Apabila kita menelusuri hadits2 shahih, memang tidak akan kita temukan penjelasan tentang Hari Raya Anak Yatim, setidaknya yang pernah saya lakukan. Oleh karena itu, bagi sebagian masyarakat lainnya, anggapan bahwa 10 Muharram adalah Hari Raya Anak Yatim dan kebiasaan memberikan santunan bagi anak yatim di hari tersebut, dianggap sesuatu yang menyimpang dari aqidah Islam.

Saya tidak dalam posisi ingin membenarkan, menyalahkan, apalagi memberi fatwa tentang 10 Muharram, karena saya sangat tidak kompeten, tidak layak untuk itu. Memang, bagi saya anggapan 10 Muharram adalah Hari Raya Anak Yatim, adalah sesuatu yang baru, sebagaimana saya jelaskan tadi, bahwa saya belum pernah menemukan atau mempelajari hadits shohih yang menjelaskan itu. Namun, saya coba memberi sebuah pendapat, pendapat dari seorang yang baru belajar Islam, tentunya. Persoalan bid’ah, sepanjang yang saya pelajari, adalah karena sesuatu itu menyimpang dari ajaran aqidah Islam, dan ditakutkan akan menjadi sesuatu yang diyakini secara penuh, diamalkan secara periodik dan berkelanjutan yang pada akhirnya menjadi amalan rutin. Ini hakikatnya. Saat pemahaman kita akan 10 Muharram itu sampai pada posisi seperti tadi, maka pemahaman tersebut memang perlu diluruskan.

Nah, bagaimana dengan santunan anak yatim?
Tidak mungkin ini bid’ah. Cukuplah QS Al Maa’uun : 2 dan Ad Dhuha : 9 bagi kita sebagai bahan renungan akan posisi anak yatim dalam Islam. Sebagai tambahan, cukuplah 2 riwayat berikut ini.

Aku (Muhammad SAW) dan pengasuh anak yatim kelak disurga seperti dua jari ini (Rasulullah SAW menunjuk jari telunjuk danjari tengah dan merapatkan keduanya)”. (HR Bukhari)

Sebaik-baik rumah kaum Muslimin ialah rumah yang terdapat di dalamnya anak yatim yang diperlakukan dengan baik. Dan seburuk-buruk rumah kaum Muslimin ialah rumah yang didalamnya terdapat anak yatim tapi anak itu diperlkukan dengan huruk”. (HR Ibnu Majah)
Maka memberikan santunan bagi anak yatim adalah hal yang sangat mulia, sampai-sampai Rasulullah SAW menyatakan bahwa pengasuh anak yatim akan bersama beliau nanti di surga, ini dahsyat, bersama Rasulullah SAW lo, seperti jari telunjuk dan jari tengah. Jadi siapa yang berani bilang bahwa menyantuni anak yatim itu bid’ah?
Oleh karena itu, dalam faham saya, melaksanakan acara santunan anak yatim sebagai bagian dari 10 Muharram, boleh-boleh saja, bahkan ini amal sholeh, insyaAllah, sama seperti menyantuni anak yatim di hari-hari lainnya. Namun, kalau lantas menyantuni anak yatim wajib dilaksanakan atau hanya dilaksanakan pada 10 Muharram, dan kalau di hari lain tidak tepat, dan kemudian dianggap sebagai sebuah keharusan, tradisi yang harus dilaksanakan rutin, faham seperti ini yang jadi masalah.
Tulisan ini adalah pandangan saya yang sedang belajar Islam.

teman2 yg terhormat

Dalam Islam, menafsirkan Al Qur’an, bukan menerjemahkan ya, hanya dapat dilakukan oleh orang2 tertentu, sebut saja dia hafizh Qur’an, memahami hadits2 shohih, memahami bahasa Al Qur’an dengan baik, sehari2 “bergaul” dengan Al Qur’an dan tentunya tidak ada cela dalam perbuatannya. Maka orang2 yg tidak memenuhi kriteria tsb, seharusnya “tidak berani” mencoba menafsirkan Al Qur’an, ya, meski sekedar mencoba

Akhir2 ini, ada ribut2 tentang Al Maidah : 51, banyak pendapat bermunculan, berbagai pandangan, ada yg benar, dan tentunya ada juga yg menyesatkan, bayangkan, yg sama sekali gak pernah baca Al Qur’an juga ikut2an menafsirkan, lantas banyak pula yg percaya dan ikut2an.

Apakah saya akan ikut2an mencoba menafsirkan? Tentu tidak, karena saya masih jauh dr kriteria penerjemah Al Qur’an.

Saya hanya akan mengutip catatan salah satu kitab tafsir Al Qur’an, Fi Zhilaalil Qur’an, karya Sayyid Quthb, kl ingin tau siapa beliau, googling aja. Memang kitab tafsir ini bagi beberapa orang akan agak asing, krn tafsir ini lebih kepada tafsir haroki, tafsir pergerakan beragama dan bernegara.

Teman, bagaimana Sayyid Quthb menjelaskan Al Maidah : 51

dibuka dengan sebuah ungkapan ini “toleransi kepada Ahli Kitab adalah suatu hal, sedangkan mengangkat mereka sebagai pemimpin adalah hal lain”. Ungkapan yang syarat makna, mengajak kita untuk berfikir.

Dalam menafsirkan Al Maidah : 51 dan beberapa ayat selanjutnya, Sayyid Quthb menjelaskan tabiat tabiat Nasrani dan Yahudi yg kesemuanya mengarah pada ketidaksukaan, ketidakridhoan mereka terhadap aqidah Islam, maka perang aqidah itu sebenarnya ada, dan tidak akan pernah berhenti sampai kita meninggalkan aqidah Islam. Inilah yg dijadikan alasan oleh Sayyid Quthb dalam mengingatkan kita untuk tetap tidak mengambil pemimpin dari kaum Nasrani dan Yahudi dalam kitab tafsir tersebut.

Ada ayat2 lain yg perlu kita simak untuk menguatkan pandangan Sayyid Quthb di atas, yaitu

“dan tidak akan pernah (Allah menggunakan kata “lan=tidak akan pernah” dalam ayat ini) ridho, rela atas kamu orang2 Yahudi dan Nasrani sampai engkau mengikuti millah (agama, faham) mereka” (QS Al Baqoroh : 120)

“dan mereka tidak akan pernah berhenti memerangi kamu, sampai mereka mampu mengembalikan kamu dari agamamu (kepada kekafiran) seandainya mereka mampu” (QS Al Baqoroh : 217)

maka sangat wajar jika Sayyid Quthb tetap pada pendirian bahwa toleransi dengan mereka adalah suatu hal, namun mengambil mereka sebagai pemimpin adalah hal lain.

Sebagai penutup, mari kita simak ayat ini “Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu mengambil jadi pemimpinmu, orang-orang yang membuat agamamu jadi buah ejekan dan permainan, (yaitu) di antara orang-orang yang telah diberi Kitab sebelummu, dan orang-orang yang kafir (orang-orang musyrik). Dan bertakwalah kepada Allah jika kamu betul-betul orang-orang yang beriman” (QS Al Maidah : 57)

Maka, saat ada orang yang menjadikan ayat Al Qur’an sebagai ejekan, entah menghinanya, memalsukannya untuk menipu orang, menuduhnya sebagai kebohongan dan sebagainya, apakah kita masih akan memilihnya sebagai pemimpin?

Teman2, ini pendapat dan ajakan saya, setiap orang boleh berpendapat dan berpendirian lain di negara kita yg UUD-nya memberi kebebasan untuk menyampaikan pendapat ini.

Mari lebih cerdas, berfikir lebih komprehensif dan lebih berhati-hati (baca : bertaqwa) dalam mengambil keputusan, menentukan pilihan

waLlahu a’lam

Lama tak berkunjung ke laman ini, lama tak menulis, semangat menulis itu memang telah jauh berkurang, padahal menulis ini adalah sarana berbagi, ya, mari berbagi

Teman,
Saya Muslim, dan Islam adalah kacamata yang saya gunakan dalam berbagai segi kehidupan, di atas prinsip lainnya, dan kita harus fahami, bahwa Islam dibangun dalam bingkai ilmu pengetahuan, logika, nalar, sehingga Islam dan logika itu sejalan, ingat 5 ayat pertama yang diturunkan oleh Allah dalam Surah Al ‘Alaq, kata pertama adalah Iqro (bacalah), ini berarti ilmu, belajar, baca, menggunakan akal, ini logika. Kemudian ayat ke-4, ‘allama bil qolam’, silakan dipelajari dari berbagai kitab tafsir tentang kata ‘qolam’ di ayat ini

Teman,
Dalam Islam, kita belajar memilah dan memilih, dalam berbagai masalah kehidupan ini, tentunya ada tuntunannya, pasti Al Qur’an dan sunnah. Banyak sekali kondisi yang mengharuskan kita berhati-hati dalam menentukan pilihan, memutuskan sesuatu, harus pelan-pelan dipelajari dan diteliti terlebih dahulu. Sikap hati-hati ini merupakan wujud dari ketaqwaan yang kita miliki, setidaknya itulah gambaran taqwa yang disampaikan oleh Khalifah Umar bin Khattab saat ditanya tentang defenisi taqwa menurut beliau.

Saya sampaikan beberapa contoh, ini memang setahu saya
Dalam memilih makanan, kita diajarkan untuk memilih makanan yang halal dan thayyib, halal adalah hukumnya dalam Islam dan thayyib adalah kandungannya yang bermanfaat, termasuk kadaluarsanya. Maka diharamkan bagi kita makan bangkai, darah, daging babi (QS Al Maidah : 3), meskipun memang dalam hadits dijelaskan lebih lanjut kecuali bangkai ikan dan belalang, atau dalam riwayat lain bangkai makhluk laut, kemudian darah kecuali hati dan limpa, itu boleh. Tetapi, daging babi, itu tegas tidak boleh dengan segala bentuk dan turunannya, misal sosis, abon, steak dll. Tidak boleh juga untuk daging babi meskipun tercampur dengan daging lainnya yang halal, misal daging bagi campur dengan daging sapi, tetap hukumnya haram, dengan kata lain, daging babi dicampur apapun ya tetap haram, meskipun persentase daging babinya sedikit. Maka hati-hatilah memilah dan memilih. Termasuk kita harus berhati-hati tentang kemungkinan mengkonsumsi makanan halal yang dimasak di tempat yang sama, dengan menggunakan peralatan masak yang sama dengan bahan makanan yang haram, karena hukumnya akan menjadi haram juga. Benar-benar harus hati-hati.
Bahan makanan yang halal jika tercampur dengan yang haram, hukumnya jadi haram. Begitu juga kita dalam Islam, dilarang mencampuradukkan perkara yang haq (benar) dengan yang bathil (salah), padahal kita mengetahuinya.
Maka, hati-hati memilih, sesuatu yang haq jika bercampur dengan yang bathil, lebih baik tidak dipilih.

Kasus kedua, dalam memilih pasangan hidup. Jelas dalam Al Qur’an dijelaskan bahwa pria (wanita) Islam lebih baik daripada pria (wanita) musyrik, meskipun terkadang menakjubkan (QS Al Baqoroh : 221). Dalam ayat tersebut Allah SWT menggunakan ‘abdun’, bukan ‘rojulun’. Abdun, didefenisikan sebagai budak, artinya seorang budak beragama Islam lebih baik dipilih menjadi pasangan daripada seorang musyrik meskipun ia merdeka, kaya raya dsb yang menakjubkan kita. Hukumnya jelas dan tegas. Jadi pilihan kita dalam mengharungi rumah tangga adalah seorang Muslim/ah.

Teman,
Tulisan ini ingin berbagi dalam hal memilah dan memilih. Kehati-hatian kita dalam memilah dan memilih, atas semua perkara yang kita hadapi dalam hidup ini, merupakan bentuk ketaqwaan kita kepada Allah SWT, semakin kita berhati-hati, semakin kita bertaqwa.
Apabila dalam waktu dekat ini, akan ada suatu kondisi yang mengharuskan kita untuk menentukan pilihan, mengambil keputusan, maka ingatlah pesan dalam tulisan ini, berhati-hatilah dalam memilah dan memilih.

WaLlahu a’lam